YUDI PRAMUKO, e-School of Writing and Publishing

Dapatkan Panduan CD 200 hal, 1 VCD "REVOLUSI RUMAH" tg KIAT DIRIKAN PENERBITAN BUKU DI RUMAH & KIAT MENULIS 24 BUKU DALAM 12 BULAN. Invst.Rp. 999.900. Diskon Rp. 800.000,- jk BAYAR tg. 1 s/d 15. Transfer tgl 16 s/d 31, investasi tetap Rp. 999.900,- Hub. 0813.1043.3010 Garansi :DIPANDU SECARA PRIBADI SAMPAI PUNYA PENERBITAN SENDIRI e mail Yuditobat61@gmail.com hp. 0813.1043.3010 TRANSFER : BANK SYARIAH MANDIRI CAB. CIPUTAT NOREK. 00400.607.30 klik: bukumilyarder.blogspot.com

Senin, 01 Desember 2008

King Gillette, Laku 144 Buah (Karya ke 14)

Sifat Utama yang Harus Anda Miliki Sebelum Anda Memulai Bisnis adalah Kesabaran seperti batu karang yang tetap kukuh, meski digempur ombak sepanjang abad (Karya ke-14)

By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com


King Gillette, Laku 144 Buah (4)

Pernah dengan nama tokoh King Gillette? Ya, silet, pencukur kumis anda!
Namun King Gillette memusnahkan umur yang berharga bertahun-tahun, untuk mengembangkan produk dan perusahaannya. Ia mencari akal, dengan penuh kesabaran, menjual pisau cukur sekali pakai itu, ke seluruh dunia. Perjalanan Gillette sulit, berkelok-berliku, melereng hampir terperosok masuk jurang yang dalam. Ia sukar sekali mencapai tujuan bisnisnya.

Gillette tidak menyerah!

Guna mewujudkan idenya, Gillette menghabiskan waktu bertahun-tahun.

Berhasil!
King Gillette akhirnya memetik hak paten, bagi produk silet, pada tahun 1895. Tapi ia harus menanti selama enam tahun, sampai tahun 1901, untuk mengumpulkan modal sejumlah 5 ribu dolar. Modal itu akan digunakan mendirikan perusahaan Gillette. Berjuanglah mati-matian sang penemu itu, King Gillette, dalam 2 tahun pertama bisnisnya. Ia mulai menjual produknya, pisau cukur. Berapa pisau cukurnya yang laku? Cuma 144 buah! Harga perbuah pun, amat kecil. Jelas, keuntungannya tipis. Gillette tidak mau terlempar dari bisnis yang telah dirintisnya sendiri dengan susah payah. Ia sabar dan bertahan. King Gillette tak menyerah kalah, meski sulit !!!
Dalam kesulitan terletak kemudahan, dan keindahan hidup.
Gillette tetap kukuh bagai berlian. Bersabar. Hatinya tetap membaja. Mencari beraneka jalan yang tidak dipikirkan orang lain. Ia tidak ingin kalah. Ia ingin menang, sukses berbisnis sendiri.
“Ia tetap bersabar, dan terus mencari strategi-strategi baru dalam pemasaran produk barunya itu pada akhirnya ia menemukan strategi yang ampuh.” (Joe Cossman, 1997, hal. 166)
Ya, King Gillette kini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ia, bagian dari sejarah bisnis Amerika yang termasyhur. Yang dilandasi pada kesabaran yang membaja, dan luar biasa. Siapa manusia di alam semesta ini yang tidak kenal pisau silet?
Kesabaran yang besar dan luar biasa itulah yang menyebabkan mengapa hingga kini pisau cukur silet masih berpengaruh di seluruh penjuru dunia. Hingga detik ini.

Asal anda punya kumis, pisau cukur silet tetap dominan dalam kehidupan anda. Berkat kesabaran penemu, sekaligus pemain bisnisnya: King Gillette!

Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

Selasa, 25 November 2008

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, (Karya ke 13)

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, MESKI DIGEMPUR OMBAK SEPANJANG ABAD (Karya ke-13)


By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com


GEMA INSANI PRESS, STRATEGI HARGA MURAH ( 3 )

Penerbit Gema Insani Press (GIP), ditertawakan kalangan tertentu, karena pilihan strategi bisnisnya menerbitkan buku-buku Islam terjemahan dari bahasa Arab. Dijual murah, untuk kalangan mahasiswa dan pelajar. Berbeda dengan Mizan yang menyuguhkan puncak-puncak pemikiran Islam, dan bercorak serius, GIP bertahan dengan strategi bisnisnya yang khas. Menjual buku Islam murah. Dicetak tidak tebal. Tanpa catatan kaki (foot-note). Tanpa daftar kepustakaan. Terkesan tidak ilmiah.

GIP memilih, membidik pasar yang berbeda dengan Mizan. Ia, tidak mau bertempur, secara terbuka, dengan pasar Mizan. GIP menciptakan pasar sendiri. Ia membagi pasar menurut caranya sendiri. Jika Mizan membidik kaum terpelajar, elit dan akademisi, maka GIP memfokuskan diri pada pasar khas remaja, atau mahasiswa yang baru mengenal Islam. Dan sedang bergairah mempelajari Islam. GIP tidak menerbitkan buku filsafat Islam, seperti Mizan. GIP menyerang dengan buku-buku ‘ringan’, dan bersemangat. Ia membanjir pasar dengan bacaan gerakan Islam yang frontal, hangat. Dan tidak sedingin pemikiran Islam yang dikeluarkan Mizan. GIP terkesan sengaja ‘menyerang’ ideologi (Syiah) Mizan. Kalangan tertentu mencela buku-buku ‘kacangan’ GIP. Orang tertawa dengan gerakan GIP dengan buku-buku terjemahan dari Timur Tengah, yang murah-murah itu. Orang-orang mengejek. Orang merendahkan. Orang tertawa sinis. Mereka sinis, karena tidak bisa mengikuti langkah cerdik GIP.

GIP tidak mundur. Ia, maju terus, tak menghentikan langkahnya. Meski marjin keuntungannya terbilang tipis, untuk setiap keping buku, GIP bertahan hidup dalam strategi bisnisnya. Strategi harga murah, agar terjangkau kantong pelajar -mahasiswa Islam. GIP punya kesabaran yang panjang. Nafasnya panjang. Kini pada tahun 2000, usia GIP 14 tahun, lebih 500 (lima ratus) judul buku ditelurkan oleh penerbit yang kini membangun kantor sendiri di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Agaknya kini GIP menciptakan strategi baru. Buku-buku tebal, berisi pemikiran politik Islam dan gerakan Islam, mulai dirambah. Ada saja, yang tidak sepakat dengan cara dan pilihan strategi GIP melanjutkan bisnis buku-buku. Biasanya kritik dan cemoohan itu berasal dari orang berjiwa kerdil seperti biji jagung. Dari orang yang wawasannya sempit dan bercita-cita rendah.

GIP melangkah terus dengan keyakinannya sendiri. Gedung megah kini ia miliki. Milik sendiri hasil dari bisnis buku-buku Islamnya. GIP terus melangkah dengan penuh kesabaran. Melangkah ke masa depan yang cerah! Karena, profit, keuntungan dalam bisnis terletak di masa depan. Bukan di masa lalu.

Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com




KING GILLETTE, LAKU 144 BUAH



Pernah dengan nama tokoh King Gillette? Ya, silet, pencukur kumis anda!
Namun King Gillette memusnahkan umur yang berharga bertahun-tahun, untuk mengembangkan produk dan perusahaannya. Ia mencari akal, dengan penuh kesabaran, menjual pisau cukur sekali pakai itu, ke seluruh dunia. Perjalanan Gillette sulit, berkelok-berliku, melereng hampir terperosok masuk jurang yang dalam. Ia sukar sekali mencapai tujuan bisnisnya.

Gillette tidak menyerah!

Guna mewujudkan idenya, Gillette menghabiskan waktu bertahun-tahun.

Berhasil!
King Gillette akhirnya memetik hak paten, bagi produk silet, pada tahun 1895. Tapi ia harus menanti selama enam tahun, sampai tahun 1901, untuk mengumpulkan modal sejumlah 5 ribu dolar. Modal itu akan digunakan mendirikan perusahaan Gillette. Berjuanglah mati-matian sang penemu itu, King Gillette, dalam 2 tahun pertama bisnisnya. Ia mulai menjual produknya, pisau cukur. Berapa pisau cukurnya yang laku? Cuma 144 buah! Harga perbuah pun, amat kecil. Jelas, keuntungannya tipis. Gillette tidak mau terlempar dari bisnis yang telah dirintisnya sendiri dengan susah payah. Ia sabar dan bertahan. King Gillette tak menyerah kalah, meski sulit !!!
Dalam kesulitan terletak kemudahan, dan keindahan hidup.
Gillette tetap kukuh bagai berlian. Bersabar. Hatinya tetap membaja. Mencari beraneka jalan yang tidak dipikirkan orang lain. Ia tidak ingin kalah. Ia ingin menang, sukses berbisnis sendiri.
“Ia tetap bersabar, dan terus mencari strategi-strategi baru dalam pemasaran produk barunya itu pada akhirnya ia menemukan strategi yang ampuh.” (Joe Cossman, 1997, hal. 166)
Ya, King Gillette kini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ia, bagian dari sejarah bisnis Amerika yang termasyhur. Yang dilandasi pada kesabaran yang membaja, dan luar biasa. Siapa manusia di alam semesta ini yang tidak kenal pisau silet?
Kesabaran yang besar dan luar biasa itulah yang menyebabkan mengapa hingga kini pisau cukur silet masih berpengaruh di seluruh penjuru dunia. Hingga detik ini.

Asal anda punya kumis, pisau cukur silet tetap dominan dalam kehidupan anda. Berkat kesabaran penemu, sekaligus pemain bisnisnya: King Gillette!


CHESTER CARLSON, 13 TAHUN MENANTI


Kesabaran itu pula yang menjadi darah daging Chester Carlson, sang penemu mesin foto kopi Xerox. Kisah sukses Carlson, termasyhur di seluruh jagad raya. Ia menemukan mesin foto kopi Xerox tahun 1938. Penemuan Carlson menjadi dasar dibangunnya salah satu perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Setelah menemukan produk baru, mesin foto kopi itu, Carlson memohon pinjaman dana 15 ribu dolar, untuk memulai pengembangan bisnisnya.
Apa yang terjadi?
Pinjaman itu baru cair, dibayarkan, beberapa tahun kemudian. Untunglah, Carlson tetap sabar. Tapi tahun 1947, hak perdagangan mesin foto kopi Xerox dibeli orang lain. Carlson melepasnya, agar bisnisnya kian berkembang. Namun faktanya, ia harus menunggu 13 tahun lagi.... Dengan penuh kesabaran, selama 13 tahun menanti, akhirnya Carlson menerima uang royalti pertamanya. Alangkah sabarnya Chester Carlson dalam memulai bisnisnya.

Carlson, Gillette, Penerbit Mizan, Gema Insani Press, Alva Edison semuanya memiliki kesabaran yang luar biasa, dalam memulai dan mengembangkan bisnisnya. Mereka tidak gampang menyerah, sehingga terlempar dari pertarungan bisnis yang memang keras itu.

Kalau saja bisnis itu mudah tentu semua orang terjun ke gelombang bisnis yang berbahaya itu. Mereka ternyata tidak patah semangat. Sabar, mencari cara dan strategi baru, dan tak mudah mundur, atau lemah hati.

Hasilnya?

Kesuksesan, kepuasan hati yang besar, akhirnya mereka petik. Sukses bisnis mereka akan terus menjadi legenda yang terus hidup. Menjadi buah bibir yang tak habis-habisnya. Berkat sifat sabar yang luar biasa dalam memulai dan mengembangkan bisnis. Sabar dalam bertarung. Das leben ist schwer! Hidup itu sulit, ujar pepatah Jerman. Karena hidup itu sulit, kesabaran dalam mengatasi kesulitan dalam berbisnis, merupakan keharusan etis, psikologis dan historis! Lain tidak!

MENGAPA PERLU MEMBANGUN PENERBITAN SENDIRI?

“Itulah sebabnya mengapa saya tiada jemu-jemunya menganjurkan orang-orang di sekitar saya untuk membersihkan meja dapur mereka, menyulapnya menjadi kantor kecil, dan memulai suatu usaha yang dapat mereka atur sendiri, bukannya terus menerus membiarkan orang lain atau perusahaan yang mengontrol mereka.” (Joe Cossman: 1997, hal. 27)

Pesan dan pelajaran yang dapat ditarik dari Cossman adalah satu saja. Jadilah pengusaha, meski kecil. Segera bikin perusahaan sendiri. Jangan terus-menerus jadi orang gajian.
Dalam sejarah, banyak orang gajian yang merintis jalan baru dengan penuh keberanian. Cossman sendiri bergaji 140 dolar sebulan. Tapi kejadian kecil, yang dialami kawannya, membuat hatinya terbakar. Lalu ia bertekad jadi bos, memiliki perusahaan sendiri. Sudah 18 tahun kawannya menjadi pegawai swasta. Suatu hari Cossman mendengar kawannya dipecat, hanya karena silang pendapat dengan atasannya. Dipecat siang sebelumnya. Joe Cossman terperangah. Kesetiaan seorang karyawan ternyata tidak berharga sama sekali, selama anda menjadi bawahan.
“Wah, untuk apa saya setia kepada perusahaan yang tidak menghargai bawahannya,” ujar Cossman pada dirinya sendiri.
Pengalaman kawannya yang dipecat itu membangunkan Cossman. Kejadian itu membulatkan keputusan:’Aku harus jadi pengusaha’.

Keluarlah ia dari kantornya.
Joe Cossman lalu menjadi burung rajawali. Hinggap dari satu pohon ke pohon lain, dengan bebas merdeka. Mencari makan, mengais rejeki, mengembangkan sayap ide-ide dengan sebebas-bebasnya, tanpa rasa takut dipecat oleh atasan. Joe Cossman menjadi multi jutawan, karena usaha yang dibangunnya sendiri. Gaji 35 dolar seminggu, dari kantor lamanya, telah dicampakkan.

Cossman menciptakan peluang-peluang bisnisnya sendiri. Sebagai pemilik perusahaan yang dirintiskan dari meja di dapurnya, ia merasa puas. Jiwanya bebas. Merdeka. Kini, ia memetik 30.000 dolar, sekali raup. Penghasilan sebesar ini tak terbayangkan waktu jadi orang gajian. Untuk mencapai penghasilan sebesar itu, Cossman harus menghabiskan seribu minggu bekerja. Atau 15 tahun bekerja.

Alangkah malangnya orang-orang yang gajiannya terbatas, padahal hidup demikian luasnya! Penuh kemungkinan berkembang tiada batas!
Untunglah, ia tak lagi jadi orang gajian. Kini, ia mengendalikan kemauannya sendiri. Ia tidak di bawah kendali perusahaan dan orang lain. Berkat mengelola perusahaannya sendiri, ia menghemat banyak waktu. Untuk mendapat 30 ribu dolar, Joe Cossman bekerja keras, tak lebih dari setahun.

Anda bisa jadi jutawan seperti Joe Cossman. Bisa, kalau anda membangun perusahaan penerbitan buku milik sendiri. Setidaknya, anda berkembang ke arah yang anda rancang sendiri. Sesuai selera dan visi hidup anda. Anda akan tidak pernah puas atas pilihan orang lain. Sampai titik ini, orang tidak mampu lagi menentukan masa depan dan gaji anda. Kini, andalah sendiri yang mengarahkan cita-cita dan misi hidup anda.

Hanya dengan perusahaan sendiri, masa depan anda lebih terbuka. Pilihan hidup anda lebih kaya, lebih bervariasi, lebih inspiratif. Lebih menjanjikan kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan dan kedamaian hati. Kenapa? Karena anda menjadi khalifah, menjadi pemimpin. Bukan orang yang dikendalikan orang lain. Atau bekerja di bawah pengaruh atasan anda, yang kerap berbeda cara bepikir, cara memandang persoalannya dengan anda.

Untuk memperkuat pernyataan itu, bandingkanlah penghasilan seorang pengarang dan penerbit.

Jika anda, sebagai pengarang buku, misalnya mendapat 5 juta rupiah, sedangkan penerbit buku anda memetik untung 25 juta rupiah. Mana yang anda pilih?
Tentu anda memilih jadi pengarang buku, sekaligus penerbitan buku anda sendiri. Anda dapat dua-duanya: kebebasan dan uang Rp. 30 juta.
Artinya, mendirikan penerbitan buku jauh lebih menguntungkan, secara ekonomis, dibandingkan jika anda menjadi pengarang yang menjual naskah anda kepada penerbit lain.

Terbitkanlah sendiri, buku anda. Cetak sendiri. Pasarkan sendiri. Kalau diserahkan kepada orang lain, anda rugi besar! Kecuali anda pengarang yang hidup di Barat. Tradisi penerbitan buku di Barat demikian baiknya, sehingga cukup menjadi pengarang, sebuah buku anda diterbitkan, anda bisa makan selama setahun! Bahkan, anda bisa jadi multi jutawan, hanya menjadi pengarang buku saja. Situasi yang menguntungkan pengarang itu, belum terjadi di Indonesia. Mungkin, 50 tahun lagi. Atau dua ratus tahun lagi. Situasinya, industri penerbitan buku membikin gemuk penerbit buku. Sebaliknya, pengarang jadi kere, tetap melarat di tengah pesta pora para penerbit buku Islam kita!
Padahal bukan mudah menyusun buah pikiran, ke dalam paragraf demi paragraf. Otak diperas, dahi berkerut-kerut, duduk ratusan jam mengetik naskah buku. Semua itu membutuhkan ketahanan mental yang besar. Butuh cita-cita yang besar. Perlu napas yang panjang dan tahan lama. Daya tahan seorang pengarang tak dimiliki setiap orang. Itulah sebabnya, pengarang sangat sedikit jumlahnya di dunia ini. Karena, berat dan amat terjal jalan yang harus mereka tempuh. Tapi mereka lakukan juga, untuk menyumbang sesuatu kepada kemanusiaan. Pekerjaan mengarang, sungguh pekerjaan intelektual yang seharusnya dihargai pantas oleh penerbit. Tapi, di Indonesia, penghargaan itu, merosot tajam. Pengarang selalu di pihak yang dikalahkan oleh penerbit. Apa boleh buat!

Bukan jiwa pengarang sejati yang selalu menuntut dan mengemis kepada penerbit. Jiwa pengarang adalah halus. Tidak mau jiwanya dikotori oleh pertempuran dan perebutan soal-soal rupiah. Pengarang sejati bermain di dataran ide dan cita-cita. Tak mau jiwanya meluncur turun karena mengemis-ngemis kepada penerbit. Ada masanya dia menyerah kalah. Bukan dunianya berkelahi dengan penerbit buku-bukunya. Dia harus mengakui dan maklum baru sampai taraf sedemikianlah penghargaan bangsanya kepada kehidupan pengarang yang bercita-cita besar, tapi melarat itu. Cita-cita sucinya tak ingin dikotori oleh tangannya sendiri yang selalu terkulai ke bawah. Tangan dan ilham kepengarangannya tak mau terbakar oleh api dunia yang dinyalakan oleh penerbit bukunya sendiri. Dia maklum!

Dia hanya bisa menangis bahagia ketika bukunya diluncurkan di depan publik. Ketika dicetak dan dibaca orang banyak. Air mata syukur kepada Allah, tak terasa, menetes. Lalu membasahi matanya. Lalu mengalir deras. Ia sesenggukan. Empat ratus undangan memadati aula Perpustakaan Nasional Jakarta, malam itu. Ada beberapa tamu dari negara sahabat, Iran, Irak, Palestina dll. Dia membawa seluruh keluarganya untuk menyaksikan malam yang bersejarah itu. Ibu kandungnya, dia bawa serta, duduk di bangku di depan. Kakak dan adiknya, anak-anaknya dan isterinya, sengaja dia ajak, untuk menyaksikan peluncuran bukunya. Buku karangannya, sangat khas, ditulisnya siang malam selama 3 bulan, sejak September hingga Desember 1999. Kemudian diberinya judul Yusril Ihza Mahendra, Sang Bintang Cemerlang. Disambung judul kecil di bawahnya ‘Perjuangan Menegakkan Sistem dan Ahlak Berpolitik’. Nama, Yudi Pramuko, tertera jelas di kanan atas. Ya, ia menulis kisah hidup dan pemikiran Yusril, yang saat itu baru saja menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI. Ia sekaligus Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang. Yusril, bintangnya sedang menanjak. Terilhami oleh istilah ‘The Rising Star’, ia kemudian menjulukinya ‘Sang Bintang Cemerlang’ karena pemikirannya memang ditunggu banyak orang, di tengah hiruk pikuknya kegalauan sosial akibat perubahan sistem yang mendasar di negaranya.

Musik digelar. Makan malam disantap. Bukan main gembiranya pengunjung, sebanyak itu, beroleh makan malam gratis. Jarang sekali di Indonesia, peluncuran buku, didahului makan malam. Tidak sedikit kawannya yang mengucapkan selamat. Umumnya mereka heran, dirinya bisa menulis Yusril setebal 200 halaman, dan dirayakan dengan acara seperti itu. Atau, mungkin tak menyangka yang menulis Yusril cuma pengarang seperti dirinya, yang penampilannya sederhana.

Tapi, sebenarnya tak banyak yang tahu, dia menangis di tengah pesta. Sebagai pengarang hatinya menjerit. Sebelum buku dicetak, sudah terbayang di pelupuk matanya, jumlah uang yang bakal masuk sakunya. Tak sebanding dengan kemewahan yang digelar di malam April 2000 itu. Sekian belas juta dihambur-hamburkan hanya untuk menyenangkan segelintir orang. Tapi sekaligus menghina martabat seorang pengarang buku. Begitu banyak orang yang hendak tampil. Dan melupakan seorang pengarang buku.

Mereka seakan lupa, pengarang buku, bernama Yudi Pramuko, adalah manusia biasa. Martabatnya sebagai pengarang layak dihargai pantas oleh penerbit manapun! Tak boleh terjadi dirinya dieksploitasi, dihisap tenaga dan pikirannya untuk kepentingan lingkar elit yang terbatas.

Dia tidak ingin membiarkan dirinya dihempaskan harga diri sebagai pengarang, hanya untuk memuaskan pihak-pihak tertentu. Tak ingin lagi orang lain menghempaskan dirinya, sebagai pengarang, seperti sebingkai kaca dihempaskan ke batu. Pecah berkeping-keping.

Tapi, sudahlah. Laisa fil imkaani mimma kaana.Tidak ada yang lebih baik dari apa yang telah terjadi, seperti ucapan filsuf besar Islam, Al Ghazali. (1058-1111).

Pengalaman pahit peluncuran bukunya, di Perpustakaan Nasional, itu sungguh berharga. Sejak itulah ia ingin melakukan sesuatu yang lebih bermartabat.

Dirikan saja penerbitan Islam sendiri.
Beres!

Begitu tekadnya, dalam hati. Dan sejak saat itu ia ingin cepat-cepat melupakan peristiwa malam itu. Dan ia tidak ingin menciptakan musuh-musuh baru. Ia ingin segera menamatkan pengalaman yang bernilai dalam hidupnya itu dengan cara membangun penerbitan buku sendiri. Ia ingin mencetak buku-buku karangannya sendiri.

Sebuah langkah yang jarang ditempuh oleh pengarang Indonesia. Namun, telah keras hatinya, ia bercita-cita besar, ingin memulai tradisi baru: Pengarang buku sebaiknya memiliki penerbitan sendiri, agar harga dirinya, muru’ahnya, terjaga dan terpelihara! Blessing in disguise!
Senantiasa ada hikmah di balik luka hati. Dan, Allah senantiasa menganugerahkan yang terbaik untuk setiap hati. Hanya manusia jahil yang senantiasa tak punya hati.

BISMILLAH, MELANGKAH
Dibantu oleh dua orang teman, untuk pemasaran, di akhir tahun 2000 jadilah sebuah penerbitan sendiri. Total, hanya dikerjakan oleh tiga orang, termasuk saya seorang pengarang buku. Jadi, ada benarnya pendapat, bahwa untuk mendirikan penerbitan buku tidak sekompleks mendirikan sebuah restoran.

Modalnya, hanyalah kemauan baja. Lalu melangkah dengan bismillah! Faidza ‘azamta fa tawakkal ‘alallah. Jika kemauanmu sudah bulat, sudah sekeras intan maka bertawakallah kepada Allah. Karena, seluruh urusan masa depan, termasuk masa depan penerbitan bisnis buku, semata-mata di dalam genggaman kekuasaan Allah. Anda, dan saya hanya berusaha dengan secermat dan sebaik mungkin. Soal hasil, soal ketentuan Ilahi. Soal kita, adalah soal kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh. Lain, tidak!

Namun, yang mau saya tegaskan, mendirikan penerbitan buku bisa langsung jalan dengan tiga orang saja. Seorang pun bisa jalan! Tanpa punya PT. Tanpa punya akte notaris yayasan. Tanpa punya mesin cetak. Tanpa punya mobil sendiri. Tanpa telpon di rumah.

Alhasil, membuat naskah buku sendiri, mencetaknya sendiri lalu memasarkannya sendiri sungguh memuaskan hati. Lebih membahagiakan jiwa. Lebih menantang intuisi bisnis. Lebih mengembangkan diri sendiri. Lebih menjanjikan masa depan bisnis yang cerah. Lebih membuat jiwa merdeka. Dibandingkan dengan menyerahkan naskah buku ke orang lain, lalu dicetak oleh orang dan penerbit lain.
Percayalah. Trust me!


Cara Mendirikan Penerbit Buku


“Mendirikan penerbit di Indonesia tidak sesulit membangun kantor pos atau membuka restoran. Anda tidak harus segera punya seratus armada kurir atau seratus koki. Dalam banyak contoh di luar negeri, penerbit hanya terdiri atas dua atau tiga orang. Asal ada yang mengerti redaksi, ada yang paham pemasarannya, langsung bisa jalan.” (Eka Budianta, ‘Menggebrak Dunia Mengarang’, cet. ke 2, Jakarta:Puspaswara, 1994, h. 66)
Sayang sekali, Eka Budianta tidak bicara lebih detil cara membangun penerbit buku. Padahal, ini penting. Seorang pengarang, jika ingin bercita-cita tinggi, dan punya banyak uang dan kebebasan, harus punya penerbit buku sendiri. Di Indonesia, pengarang cenderung ‘dikalahkan’ oleh penerbit. Akibatnya, pengarang selalu ‘rugi’. Ia tidak bisa sejahtera, secara finansial.Tidak merdeka secara psikologis. Kecuali kalau tujuannya adalah non-material-ekonomis. Cuma penerbit bukulah yang kaya raya, dan dapat nama.

Pengarang buku?

Terimalah nasibmu yang abadi: Gigit jari!

Di Barat, berbeda.
Di negara maju, pengarang sungguh dihormati. Jadi jutawan. Jadi milyader. Jutaan keping bukunya dicetak. Di sini, penerbit bicara tiga atau sepuluh ribu buku, untuk cetakan pertama. Ini, masih bernilai, karena ia sudah berbuat sesuatu bagi negerinya
Soalnya, kemana buku yang dicetak harus dipasarkan dengan sungguh-sungguh? Tentu, ke toko buku. Kalau tidak disalurkan, didistribusikan, ribuan buku itu menumpuk di rumah. Kalau begitu, peluang untuk jadi uang, kian kecil. Orang tak tahu ada barang berguna. Karena, tidak ditawarkan.

Jadi, soal berikutnya setelah keluar dari penerbitan adalah memasarkan buku. Di sini, anda harus berjuang.

Banyak orang lupa bahwa pemasaran adalah jantung sebuah bisnis. Termasuk bisnis buku. Dalam jual beli, atau bisnis dalam arti luas, terdapat sembilan pintu rejeki dari sepuluh pintu rejeki. Ini, menurut hadis Rasulullah. Dengan kata lain, hadis itu menyiratkan, bahwa 90 persen uang berputar dalam perdangangan. Maka, sebagai pengarang, kuasailah 90 % uang itu. Jangan diserahkan ke penerbit lain. Andalah yang menguasai penjualan buku-buku anda sendiri.

Dan inti dari perdagangan adalah marketing. Dengan proses marketing dapat diciptakan penjualan (selling) yang menghasikan uang. Dengan menerjuni marketing anda menguasai seluk beluk lari dan datangnya uang. Belajarlah dunia baru: marketing. Dengan merambah jalan, anda sebagai sebagai pengarang, dapat lebih berbahagia dan sejahtera.

Selamat berjuang.
Mengarang itu berjuang!

Dan pengarang harus kembali berjuang, jika mereka ingin kaya dan terhormat: Memasarkan buku-buku!*

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, (Karya ke 12)

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, MESKI DIGEMPUR OMBAK SEPANJANG ABAD (Karya ke-12)

By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com


THOMAS ALVA EDISON: GAGALNYA RIBUAN PERCOBAAN (2)

Pernah dengar nama Thomas Alva Edison (1847-1931), sang penemu lampu listrik? Tak sampai tiga bulan ia bersekolah sepanjang hidupnya. Namun, Edison kaya raya karena ia sabar dalam memulai dan mengembangkan bisnisnya. Alva Edison duduk dengan sabarnya selama malam-malam yang panjang di musim dingin, di ruang laboratoriumnya.
Ia mencoba ribuan bahan yang tipis untuk filamen bola lampu. Setelah ribuan percobaannya gagal, dan Edison tidak menyerah, ia berhasil juga menciptakan lampu pijar. Dialah, salah seorang pencipta terbesar sepanjang jaman. Saat wafat, Edison memilik lebih dari 1.300 (seribu tiga ratus) hak paten di Amerika, dan di manca negara.
Mengapa Edison sukses? Dia, sabar. Tidak mudah menyerah, saat gagal berulang kali! Kesabarannya hampir sempurna. Padahal, sekolah formalnya cuma tiga bulan.
Suatu hari dua orang pembantu Edison kecewa. Keduanya berkata:
“Kami baru saja menyiapkan percobaan yang ke tujuh ratus. Kami masih belum menemukan jawabannya, Pak Edison. Kami gagal.”
“Tidak sahabatku. Kalian belum gagal,” jawab Edison tegas,”Hanya kita yang lebih tahu dari orang lain tentang masalah ini. Kitalah yang mendapat jawaban dari masalah ini. Bukan orang lain. Karena kita jadi tahu semua problema yang seharusnya tidak kita kerjakan. Jangan dianggap suatu kegagalan. Anggaplah suatu investasi pendidikan. Orang yang gagal dalam hidup ialah orang yang hidup dan gagal belajar,” (Bill PS Lim, 1998, hal. 61).

Akhirnya percobaan itu membuahkan hasil, karena kesabaran yang panjang dan menakjubkan. Awalnya kecewa. Kini mereka tidak ingin menyerah kalah. Kesabaran yang luar biasa membuat Thomas Alva Edison, yang tabah itu, menjadi cerita emas yang sambung menyambung, jadi cerita yang inspiratif, di seluruh dunia.

“Hindarkan kesalahan besar yaitu kesalahan tidak berbuat apa-apa,” ujar Mohammad Natsir (1908-1993), Perdana Menteri RI 1950. Tidak berbuat apa-apa bisa muncul karena mengalami kegagalan, dan membuat hati lemah-putuh asa.

Presiden Amerika, Theodore Rosevelt berkata:”Satu-satunya orang yang tidak membuat kesalahan adalah orang yang tidak berbuat apa-apa. Jangan takut kepada kesalahan dengan syarat tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

Intisari dari pendapat kedua pemimpin bangsa itu ialah kemajuan hidup dapat dicapai dengan memulai suat pekerjaan dengan penuh keberanian. Termasuk berani berbuat salah, lalu memperbaiki diri. Untuk itu, diperlukan sikap bertahan dengan sabar, jangan berhenti atau apalagi mundur. Hendaknya, majulah terus, terus bersabar dalam memulai membangun bisnis dan perusahaan sendiri.

Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

MIZAN, TIDAK MUDAH MENYERAH (Karya ke 11)

By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com


“Tanpa kesabaran anda tidak bakal sukses memulai dan mengembangkan sebuah bisnis. Anda boleh dan seharusnya mengubah arah dan strategi manakala anda tidak berhasil memperoleh kemajuan.Tapi kalau anda ingin sukses, anda tidak boleh gampang menyerah dan berhenti di tengah jalan. Kami sudah menyaksikan sendiri banyak orang terlempar dari gelanggang persaingan ketika sudah menempuh usaha sekian lama, tanpa memperoleh hasil-hasil yang diharapkan. Tak lama sesudah itu, ada orang lain masuk dan memperoleh nasib mujur dengan meneruskan sedikit saja dari apa yang telah ditinggalkan itu, dengan memamakai gagasan yang pada dasarnya sama.
Dalam bisnis, anda harus punya kesabaran. Kesabaran itu tidak berhenti di tengah jalan, kesabaran untuk tidak gampang menyerah”. (Joe Cossman dan Willian A. Cohen, 1997, hal. 165)


MIZAN: TIDAK MUDAH MENYERAH

Inti sari dari kutipan panjang, dan bersemangat di atas, ialah: jangan mudah menyerah, apalagi berhenti di tengah jalan. Bertahanlah. Dan terus bergerak maju. Awas, terlempar dari gelanggang persaingan karena lembek kemauan, tidak kukuh berjuang, tidak sabar dalam berbisnis.

Andaikata penerbit buku Mizan berhenti dalam bisnis buku, pada tahun 1985, setahun setelah mulai melangkah tahun 1984, apa yang terjadi? Untunglah, Mizan bertahan. Bersabar. Dan terus menerbitkan buku-buku baru. Di usia yang ke 15 pada tahun 1999, Mizan telah berhasil mencetak 10 (sepuluh) juta halaman buku! Sedikitnya, melahirkan 500 (lima ratus) judul buku baru, mencerdaskan umat Islam di Indonesia. Tak sedikit penerbit Islam berguguran di berbagai kota. Di awal kelahirkannya, Mizan dicerca dari delapan penjuru angin. Badai kritik mengamuk, menghantam Mizan. Mizan dihukum, dan dihakimi publik karena dinilai mengibarkan bendera ideologi Syi’ah. Mizan bertahan. Mizan mencoba tidak menyerah. Serangan, hujatan, penilaian kritis bagai iklan gratis bagi Mizan yang baru muncul dalam bisnis perbukuan di Indonesia.
Apakah strategi ini sengaja dipakai oleh Mizan untuk mendapat publikasi yang luas? Itu, tak soal.

Yang penting, Mizan bisa hidup, di awal kelahirannya, di tengah persaingan yang keras dalam bisnis buku. Panah-panas kritik hendaknya harus dihadapi dengan benteng kesabaran. Itulah, kunci penting jika memulai bisnis. Mizan tidak mundur. Kemauan Mizan untuk terus maju, itu tak terjadi, tanpa kesabaran yang teguh!
“Kemauan untuk bertahan tanpa mempedulikan berapa kali anda terjerembab - untuk bangkit dan terus berusaha dan melangkah maju- itulah kesabaran,” tegas Joe Cossman.

Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

MENYINGKAP RAHASIA BESAR PENULIS BUKU DI INDONESIA TIDAK BISA KAYA RAYA DAN JALAN KELUARNYA YANG PALING RASIONAL (Karya ke-10)

By Yudi Pramuko, only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

SEMUA BUKU TENTANG TEKNIK karang mengarang yang pernah terbit di Indonesia, misalnya ‘Teknik Mengarang”-nya Mochtar Lubis, atau ‘ABC Karang Mengarang’-nya Aoh Kartahadimadja, atau ‘Pengantar Dunia Karang-Mengarang’ karya The Liang Gie, atau kitab pedoman mengarang lainnya, telah dengan berhasil memberikan sebuah jebakan yang sama yang mendorong para pengarang ke lembah kemiskinan dan penderitaan hidup, karena buku-buku itu melupakan satu hal penting: aspek bisnis dan wirausaha di dalam dunia mengarang.

Lenyapnya aspek jiwa dan praktik bisnis dan wirausaha, yang seharusnya melekat dalam diri seorang pengarang, membuat mereka, setelah membaca buku teknik mengarang itu, terbuai, terbius mimpi bisa kaya raya dengan kegiatan menulis.
Proses kreatif yang dilukiskan Arswendo Atmowiloto, Sutan Takdir Alisjahbana, Wildan Yatim, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosjidi, dalam buku “Proses Kreatif” susunan Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1983), semuanya memberikan jebakan dan jeratan yang mengerikan. Kaitan wawasan bisnis dan kewirausahaan dengan pengembangan dan kesuburan karya pengarang, terputus!

Pengarang-pengarang besar Indonesia itu terkesan abai pada pentingnya aspek bisnis yang dapat membuat mereka mandi uang! Cara berpikir industri, di benak pengarang senior itu, benar-benar tak diberikan ruang untuk bernapas, atau dikeluarkan ke publik, hingga aspek kewirausahaan itu mati suri. Dan, dilupakan.

Pengalaman menunjukkan, umumnya kehidupan pengarang di bumi Indonesia, hidup melarat sepanjang hidup mereka, sukar sekali keluar dari himpitan ekonomi keluarga, sedikit banyak keadaan ini dipengaruhi oleh bacaan mereka sendiri. Bacaan yang menjanjikan kehidupan menyenangkan melalui, semata-mata, memproduksi naskah sebanyak-banyaknya, dan pengarang hidup kaya dari honorarium yang diterimanya dengan cara menjual naskah-naskah ke penerbit.

Puh!
Omong kosong!

Itu, alam pemikiran lama. Tidak bisa dipertahankan! Kini jaman baru tiba. Jaman industri telah membentang. Namun, masih ada para pengarang pemula membebek pikiran lama.Tanpa koreksi sama sekali! Tandanya, dia masih asyik menulis bermeter-meter, berratus halaman sambil mencampakkan cara berpikir industri di kepalanya sendiri.

Hanya seorang pengarang esai Eka Budianta, dalam bukunya “Menggebrak Dunia Mengarang” (Jakarta: Puspa Swara, 1994) yang sadar pentingnya aspek wirausaha dan berinteraksi dengan pasar. Eka menulis, begini:
“Untuk itulah setiap orang yang ingin jadi pengarang, sebaiknya merasakan sendiri mudah dan sukarnya menjual buku. Tanpa pemahaman pada minat baca, kemampuan ekonomi dan sikap masyarakat pada buku, Anda hanya dapat memuaskan diri sendiri. Padahal tugas pengarang juga memuaskan masyarakatnya.” (hal. 62)

Tentang mudahnya mendirikan penerbit, (Eka, penulis artikel, esai budaya dan buku ini kini mengelola penerbitan sendiri), menulis:

“Mendirikan penerbit di Indonesia tidak sesulit membangun kantor pos atau membuka restoran. Anda tidak harus segera punya armada kurir atau seratus koki. Dalam banyak contoh di luar negeri, penerbit sering hanya terdiri atas dua atau tiga orang. Asal ada yang mengerti redaksi, ada yang paham pemasarannya, langsung bisa jalan” (hal. 66)

Kebanyakaan bacaan dan pedoman mengarang yang terbit itu menjual mimpi indah kepada para pengarang dan pengarang pemula.
Mimpi menjadi kaya raya dengan menulis tidak punya dasar sama sekali di alam kenyataan. Namanya juga mimpi. Bunga tidur. Setelah bangun, tersadar, pengarang barulah sadar, realitas hidup demikian pahitnya!
Kalau pun diceritakan, dalam buku itu, ada pengarang besar yang berhasil merebut Hadiah Nobel, dan menjadi ternama, disanjung, bukunya dicetak jutaan keping di seluruh dunia, bermandi uang, hendaknya disikapi dengan sangat hati-hati. Pertanyaannya, di antara 6 milyar penduduk bumi, berapa orang yang meraih penghargaan tingkat dunia. Jawabnya, hanya satu orang dalam satu tahun! Pertanyaan berikutnya, berapa jumlah pengarang sukses di Barat, yang bisa berlayar di atas samudera kekayaan, dari semata-mata menjual naskah mereka ke penerbit?

SUSAHNYA HANYA JADI PENGARANG
Penulis sendiri merasakan pahitnya hidup sebagai pengarang. Lewat buku ‘HAMKA Pujangga Besar’, (Bandung: Rosda Karya) yang dijual di toko buku Rp. 22. 500,-, penulis mendapat Hadiah Adikarya, dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), sejumlah tiga juta rupiah tahun 2002, maka dalam seminggu uang itu ludes! Bayangkan, bagaimana kalau pengarang tidak dapat hadiah? Mungkinkah hidup layak dari tulis menulis?


Apakah yang harus diperbuat setelah mendapat uang muka honorarium Rp. 800 ribu, dari penerbit, plus 10 buku ‘HAMKA, Pujangga Besar’ sebagai nomor bukti. Buku dicetak tiga ribu buku. Bayangkan, apa arti delapan ratus ribu rupiah bagi biaya hidup seorang pengarang di Indonesia? Padahal sejak mengirimkan naskah “HAMKA, Pujangga Besar” ke penerbit hingga buku itu terbit dan beredar di pasar memakan waktu 1 (satu) tahun lamanya?

Sungguh bisa dimengerti jika muncul tulisan di harian Republika Ahad, 2 Mei 2004 berjudul “Mungkinkah hidup layak dengan menulis?”, tulisan Arba’iyah Satriani.
Sang wartawan tidak menjawab dengan tegas, pertanyaan yang diajukannya sendiri. Mungkin, ia sendiri ragu hendak menjawab seperti apa. Namun, menilik seluruh tulisannya yang melukiskan penderitaan, melalui wawancara, para pengarang berbakat dan produktif seperti M. Arief Hakim, Nur Kholik Ridwan, Muhidin M. Dahlan, suka atau tidak, seharusnya wartawan ini menjawab: “Tidak mungkin hidup layak dengan menulis”.

Jelas tulisan di Republika itu tidak memberikan jalan keluar. Tulisan itu justru melumpuhkan pembaca, memadamkan semangat para pengarang yang mau menjalani hidup melalui tulis menulis.

Jalan Keluar: Mendirikan Penerbitan Sendiri
Sudah seharusnya, pengarang menolong dirinya sendiri, dengan mendirikan penerbitan sendiri di dapur atau di bagian ruang depan rumah kontrakannya. Soeharsono, penulis buku “Mencerdaskan ESQ Anak”, menerbitkan bukunya sendiri, sudah lima kali cetak ulang. Ia panen raya dari buku yang diterbitkannya sendiri. Dari kediamannya di kawasan Depok II Tengah, Bogor, Jawa Barat, ia mengelola penerbitan yang didirikannya sendiri. Awalnya, seorang diri, dibantu isterinya. Kini, ia menggaji tiga orang karyawan seiring pertumbuhan buku-buku baru karangannya yang semakin banyak dan beraneka.

Di rumahnya, Soeharsono berkantor. Dan, dia tidak perlu lagi menghamba kepada penerbit lain untuk menerbitkan buku-bukunya. Bahkan, kini ia bisa menerbitkan buku karya-karya orang lain, selain buku karyanya sendiri.
Hidup dengan mengandalkan honor tulisan-tulisannya di koran Yogyakarta, juga dari honor buku-bukunya, telah dia campakkan. Karena terbukti, tidak lagi dapat menopang hidupnya secara layak, walau seorang bujangan. Setelah berkeluarga ia pindah ke Jakarta, dan mendirikan penerbitan untuk naskah buku-bukunya sendiri.

Mengapa Soeharsono, penulis berbakat itu, menempuh jalan wirausaha melalui penerbitan dan ia terus memproduksi karya-karyanya sendiri? Karena ia sadar, ia bisa dihimpit kemelaratan jika terus menerus menjual naskah-naskah ke pihak lain. Jadi, jalan keluar dari problem serius ini, ia membalikkan pikirannya sendiri. Ia membalik paradigma berpikir yang selama ini ia kembangkan dengan tekun. Ia menempuh jalan mendaki. Ia mencari jalan-jalan yang baru sama sekali yang tak terpikirkan selama ia hanya menulis buku untuk penerbit lain, atau mengirimkan artikel ke koran-koran di Yogya.

Jalan Wirausaha, Membuka Peluang Bisnis Baru
Dengan sadar ia menempuh jalan asing dan berbahaya. Jalan mendaki dan jalan baru, asing dan berbahaya itu ialah jalan wirausaha. Tegasnya, mendirikan penerbitan buku sendiri. Nama penerbitan itu, dipilihnya sendiri: INISIASI PRESS. Soeharsono itu kini terus menulis, dikitari seorang isteri dan enam anaknya yang masih kecil-kecil. Soeharsono, pemilik penerbitan INISIASI PRESS itu terus berkarya, menjadi penulis bebas.
Posisi intelektualnya sungguh tegas: Pemikir bebas dan merdeka! Dan, ia dengan bebas pula, kapan buku-bukunya bisa terbit. Bisa hari ini, minggu depan, atau lusa. Tak perlu lagi ia menghamba pada belas kasihan penerbit manapun.
Segalanya, dia tentukan sendiri. Kapan ia menulis naskah, melay-out, mencetak, menerbitkan, memasarkan, dan menagih uang penjualan buku-bukunya dari distributor, kini ia tentukan sendiri. Ia berpikir dari hulu ke hilir. Ia kini seorang pengarang sekaligus pejuang wirausaha. Karena, dialah pengarang sekaligus pemilik penerbitan buku-bukunya sendiri.
Alangkah indahnya pengarang yang mulai membuka diri, berwirausaha, dimulai di rumahnya. Pengarang semacam inilah yang punya peluang kaya raya, menjadi milyader, secara realistik dan rasional. Membuat naskah sebanyak-banyaknya, lalu menjualnya ke penerbit, dan berharap kaya raya, bukan jawaban yang realistik. Anda tidak akan menemukannya di alam kenyataan. Ini adalah mimpi-khayal yang ditawarkan oleh para penulis buku-buku tentang teknik mengarang.
Puh!

Sukses Besar lewat Penerbitan
Sukses besar hanya milik pengarang yang mau menempuh jalan mendaki, baru, asing dan berbahaya: jalan wirausaha. Wirausaha, atau bisnis adalah jalan berbahaya sekaligus penuh peluang-peluang bisnis yang terbuka!

Untuk meraih sukses besar, lewat wirausaha, tak perlu gelar. Soeharsono, pemuda bersahaja itu berhasil meraih sukses besar itu tanpa gelar! Lewat penerbitan buku miliknya sendiri, Soeharsono, pengarang bersuara lembut itu panen raya. Lewat jalan wirausaha, ia sukses besar tanpa mengandalkan gelar sama sekali.
Berani coba sendiri?

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyempitkan rezki itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang BERIMAN.”
Q.S. Ar Rum (Bangsa Rumawi) ayat 37


Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

MENYINGKAP RAHASIA BESAR PENULIS BUKU DI INDONESIA TIDAK BISA KAYA RAYA DAN JALAN KELUARNYA YANG PALING RASIONAL (Karya ke-10)

By Yudi Pramuko, only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

SEMUA BUKU TENTANG TEKNIK karang mengarang yang pernah terbit di Indonesia, misalnya ‘Teknik Mengarang”-nya Mochtar Lubis, atau ‘ABC Karang Mengarang’-nya Aoh Kartahadimadja, atau ‘Pengantar Dunia Karang-Mengarang’ karya The Liang Gie, atau kitab pedoman mengarang lainnya, telah dengan berhasil memberikan sebuah jebakan yang sama yang mendorong para pengarang ke lembah kemiskinan dan penderitaan hidup, karena buku-buku itu melupakan satu hal penting: aspek bisnis dan wirausaha di dalam dunia mengarang.

Lenyapnya aspek jiwa dan praktik bisnis dan wirausaha, yang seharusnya melekat dalam diri seorang pengarang, membuat mereka, setelah membaca buku teknik mengarang itu, terbuai, terbius mimpi bisa kaya raya dengan kegiatan menulis.
Proses kreatif yang dilukiskan Arswendo Atmowiloto, Sutan Takdir Alisjahbana, Wildan Yatim, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosjidi, dalam buku “Proses Kreatif” susunan Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, 1983), semuanya memberikan jebakan dan jeratan yang mengerikan. Kaitan wawasan bisnis dan kewirausahaan dengan pengembangan dan kesuburan karya pengarang, terputus!

Pengarang-pengarang besar Indonesia itu terkesan abai pada pentingnya aspek bisnis yang dapat membuat mereka mandi uang! Cara berpikir industri, di benak pengarang senior itu, benar-benar tak diberikan ruang untuk bernapas, atau dikeluarkan ke publik, hingga aspek kewirausahaan itu mati suri. Dan, dilupakan.

Pengalaman menunjukkan, umumnya kehidupan pengarang di bumi Indonesia, hidup melarat sepanjang hidup mereka, sukar sekali keluar dari himpitan ekonomi keluarga, sedikit banyak keadaan ini dipengaruhi oleh bacaan mereka sendiri. Bacaan yang menjanjikan kehidupan menyenangkan melalui, semata-mata, memproduksi naskah sebanyak-banyaknya, dan pengarang hidup kaya dari honorarium yang diterimanya dengan cara menjual naskah-naskah ke penerbit.

Puh!
Omong kosong!

Itu, alam pemikiran lama. Tidak bisa dipertahankan! Kini jaman baru tiba. Jaman industri telah membentang. Namun, masih ada para pengarang pemula membebek pikiran lama.Tanpa koreksi sama sekali! Tandanya, dia masih asyik menulis bermeter-meter, berratus halaman sambil mencampakkan cara berpikir industri di kepalanya sendiri.

Hanya seorang pengarang esai Eka Budianta, dalam bukunya “Menggebrak Dunia Mengarang” (Jakarta: Puspa Swara, 1994) yang sadar pentingnya aspek wirausaha dan berinteraksi dengan pasar. Eka menulis, begini:
“Untuk itulah setiap orang yang ingin jadi pengarang, sebaiknya merasakan sendiri mudah dan sukarnya menjual buku. Tanpa pemahaman pada minat baca, kemampuan ekonomi dan sikap masyarakat pada buku, Anda hanya dapat memuaskan diri sendiri. Padahal tugas pengarang juga memuaskan masyarakatnya.” (hal. 62)

Tentang mudahnya mendirikan penerbit, (Eka, penulis artikel, esai budaya dan buku ini kini mengelola penerbitan sendiri), menulis:

“Mendirikan penerbit di Indonesia tidak sesulit membangun kantor pos atau membuka restoran. Anda tidak harus segera punya armada kurir atau seratus koki. Dalam banyak contoh di luar negeri, penerbit sering hanya terdiri atas dua atau tiga orang. Asal ada yang mengerti redaksi, ada yang paham pemasarannya, langsung bisa jalan” (hal. 66)

Kebanyakaan bacaan dan pedoman mengarang yang terbit itu menjual mimpi indah kepada para pengarang dan pengarang pemula.
Mimpi menjadi kaya raya dengan menulis tidak punya dasar sama sekali di alam kenyataan. Namanya juga mimpi. Bunga tidur. Setelah bangun, tersadar, pengarang barulah sadar, realitas hidup demikian pahitnya!
Kalau pun diceritakan, dalam buku itu, ada pengarang besar yang berhasil merebut Hadiah Nobel, dan menjadi ternama, disanjung, bukunya dicetak jutaan keping di seluruh dunia, bermandi uang, hendaknya disikapi dengan sangat hati-hati. Pertanyaannya, di antara 6 milyar penduduk bumi, berapa orang yang meraih penghargaan tingkat dunia. Jawabnya, hanya satu orang dalam satu tahun! Pertanyaan berikutnya, berapa jumlah pengarang sukses di Barat, yang bisa berlayar di atas samudera kekayaan, dari semata-mata menjual naskah mereka ke penerbit?

SUSAHNYA HANYA JADI PENGARANG
Penulis sendiri merasakan pahitnya hidup sebagai pengarang. Lewat buku ‘HAMKA Pujangga Besar’, (Bandung: Rosda Karya) yang dijual di toko buku Rp. 22. 500,-, penulis mendapat Hadiah Adikarya, dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), sejumlah tiga juta rupiah tahun 2002, maka dalam seminggu uang itu ludes! Bayangkan, bagaimana kalau pengarang tidak dapat hadiah? Mungkinkah hidup layak dari tulis menulis?


Apakah yang harus diperbuat setelah mendapat uang muka honorarium Rp. 800 ribu, dari penerbit, plus 10 buku ‘HAMKA, Pujangga Besar’ sebagai nomor bukti. Buku dicetak tiga ribu buku. Bayangkan, apa arti delapan ratus ribu rupiah bagi biaya hidup seorang pengarang di Indonesia? Padahal sejak mengirimkan naskah “HAMKA, Pujangga Besar” ke penerbit hingga buku itu terbit dan beredar di pasar memakan waktu 1 (satu) tahun lamanya?

Sungguh bisa dimengerti jika muncul tulisan di harian Republika Ahad, 2 Mei 2004 berjudul “Mungkinkah hidup layak dengan menulis?”, tulisan Arba’iyah Satriani.
Sang wartawan tidak menjawab dengan tegas, pertanyaan yang diajukannya sendiri. Mungkin, ia sendiri ragu hendak menjawab seperti apa. Namun, menilik seluruh tulisannya yang melukiskan penderitaan, melalui wawancara, para pengarang berbakat dan produktif seperti M. Arief Hakim, Nur Kholik Ridwan, Muhidin M. Dahlan, suka atau tidak, seharusnya wartawan ini menjawab: “Tidak mungkin hidup layak dengan menulis”.

Jelas tulisan di Republika itu tidak memberikan jalan keluar. Tulisan itu justru melumpuhkan pembaca, memadamkan semangat para pengarang yang mau menjalani hidup melalui tulis menulis.

Jalan Keluar: Mendirikan Penerbitan Sendiri
Sudah seharusnya, pengarang menolong dirinya sendiri, dengan mendirikan penerbitan sendiri di dapur atau di bagian ruang depan rumah kontrakannya. Soeharsono, penulis buku “Mencerdaskan ESQ Anak”, menerbitkan bukunya sendiri, sudah lima kali cetak ulang. Ia panen raya dari buku yang diterbitkannya sendiri. Dari kediamannya di kawasan Depok II Tengah, Bogor, Jawa Barat, ia mengelola penerbitan yang didirikannya sendiri. Awalnya, seorang diri, dibantu isterinya. Kini, ia menggaji tiga orang karyawan seiring pertumbuhan buku-buku baru karangannya yang semakin banyak dan beraneka.

Di rumahnya, Soeharsono berkantor. Dan, dia tidak perlu lagi menghamba kepada penerbit lain untuk menerbitkan buku-bukunya. Bahkan, kini ia bisa menerbitkan buku karya-karya orang lain, selain buku karyanya sendiri.
Hidup dengan mengandalkan honor tulisan-tulisannya di koran Yogyakarta, juga dari honor buku-bukunya, telah dia campakkan. Karena terbukti, tidak lagi dapat menopang hidupnya secara layak, walau seorang bujangan. Setelah berkeluarga ia pindah ke Jakarta, dan mendirikan penerbitan untuk naskah buku-bukunya sendiri.

Mengapa Soeharsono, penulis berbakat itu, menempuh jalan wirausaha melalui penerbitan dan ia terus memproduksi karya-karyanya sendiri? Karena ia sadar, ia bisa dihimpit kemelaratan jika terus menerus menjual naskah-naskah ke pihak lain. Jadi, jalan keluar dari problem serius ini, ia membalikkan pikirannya sendiri. Ia membalik paradigma berpikir yang selama ini ia kembangkan dengan tekun. Ia menempuh jalan mendaki. Ia mencari jalan-jalan yang baru sama sekali yang tak terpikirkan selama ia hanya menulis buku untuk penerbit lain, atau mengirimkan artikel ke koran-koran di Yogya.

Jalan Wirausaha, Membuka Peluang Bisnis Baru
Dengan sadar ia menempuh jalan asing dan berbahaya. Jalan mendaki dan jalan baru, asing dan berbahaya itu ialah jalan wirausaha. Tegasnya, mendirikan penerbitan buku sendiri. Nama penerbitan itu, dipilihnya sendiri: INISIASI PRESS. Soeharsono itu kini terus menulis, dikitari seorang isteri dan enam anaknya yang masih kecil-kecil. Soeharsono, pemilik penerbitan INISIASI PRESS itu terus berkarya, menjadi penulis bebas.
Posisi intelektualnya sungguh tegas: Pemikir bebas dan merdeka! Dan, ia dengan bebas pula, kapan buku-bukunya bisa terbit. Bisa hari ini, minggu depan, atau lusa. Tak perlu lagi ia menghamba pada belas kasihan penerbit manapun.
Segalanya, dia tentukan sendiri. Kapan ia menulis naskah, melay-out, mencetak, menerbitkan, memasarkan, dan menagih uang penjualan buku-bukunya dari distributor, kini ia tentukan sendiri. Ia berpikir dari hulu ke hilir. Ia kini seorang pengarang sekaligus pejuang wirausaha. Karena, dialah pengarang sekaligus pemilik penerbitan buku-bukunya sendiri.
Alangkah indahnya pengarang yang mulai membuka diri, berwirausaha, dimulai di rumahnya. Pengarang semacam inilah yang punya peluang kaya raya, menjadi milyader, secara realistik dan rasional. Membuat naskah sebanyak-banyaknya, lalu menjualnya ke penerbit, dan berharap kaya raya, bukan jawaban yang realistik. Anda tidak akan menemukannya di alam kenyataan. Ini adalah mimpi-khayal yang ditawarkan oleh para penulis buku-buku tentang teknik mengarang.
Puh!

Sukses Besar lewat Penerbitan
Sukses besar hanya milik pengarang yang mau menempuh jalan mendaki, baru, asing dan berbahaya: jalan wirausaha. Wirausaha, atau bisnis adalah jalan berbahaya sekaligus penuh peluang-peluang bisnis yang terbuka!

Untuk meraih sukses besar, lewat wirausaha, tak perlu gelar. Soeharsono, pemuda bersahaja itu berhasil meraih sukses besar itu tanpa gelar! Lewat penerbitan buku miliknya sendiri, Soeharsono, pengarang bersuara lembut itu panen raya. Lewat jalan wirausaha, ia sukses besar tanpa mengandalkan gelar sama sekali.
Berani coba sendiri?

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyempitkan rezki itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang BERIMAN.”
Q.S. Ar Rum (Bangsa Rumawi) ayat 37


Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

KEKELIRUAN PERTAMA DAN UTAMA DALAM BISNIS DI DUNIA MAYA (Karya ke-9)

By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com

“Kami, generasi baru ingin menatap masa depan dengan berani dan jujur, namun dengan kesadaran sejarah yang kuat!” Anis Matta, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ungkapan ini saya ambil dari acara Debat, semalam (19 Nopember 08) di TV One bertema iklan controversial PKS yang ditayangkan oleh stasiun TV.

Iklan itu sendiri, berdurasi 15 detik, mengajak agar kita memetik sejarah dari perjuangan orang-orang besar di masa lalu, seperti Soeharto, Soekarno, Soedirman, Hasjim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Bung Tomo, Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, dan lainnya.

Belajarlah dari sejarah! Itulah inti iklan itu.

Dalam bisnis informasi, anda tentu sepakat bila anda lebih dapat meyakinkan pembeli, jika anda memolek informasi anda dengan contoh-contoh.

Misalnya, uraian anda akan lebih hidup, menarik dibandingkan uraian kata-kata belaka. Kolonel Sanders, yang sudah renta, pensiun dari angkatan bersenjata di Amerika ternyata sangat gigih menjual racikan bumbu ayam gorengnya. Sampai ribuan kali, tawaran kerja samanya ditolak. Sampai akhirnya ia sukses mengembangan jaringan restoran cepat saji di masa hidupnya, Kentucky Fried Chicken (KFC).

Namun, di ujung senjanya, ia bagai kehilangan makna hidup. Milyaran rupiah bagaikan uang kertas koran bekas saja di tangannya.

Bisnis jaringan waralaba KFC yang dengan susah payah dikembangkan, akhirnya dia sendiri yang melepasnya kepada pihak lain. Kolonel Sanders, sang Raja Ayam KFC menjualnya seharga 1 (satu) juta dolar.

Orang banyak tidak tahu, Retoran KFC yang tersebar di seluruh dunia, bukanlah milik Kolonel Sanders!

Itulah sejarah. Hikmahnya, di dalam bisnis ternyata tidak yang abadi sebagaimana hidup itu sendiri bagaikan fatamorgana. Di kejauhan, di sebuah padang pasir yang panasnya mengepul-ngepul, disangka air. Begitu dikejar, para musafir yang kehausan itu tidak mendapatkan air. Rupanya air yang dirindukan oleh orang haus, hanyalah tipuan fatamorgana belaka!

Tidak belajar dari sejarah, itulah kekeliruan utama dan utama orang yang menerjuni bisnis di dunia maya! Disangkanya, bisnis itu mudah!

Disangkanya, setelah meraup milyaran rupiah ia berhasil merasakan puncak kebahagiaan hidup.

Menaklukkan kesulitan dalam bisnis adalah sebuah keindahan hidup!

Mulai saat ini anda hendaknya mulai rakus membaca buku sejarah. Lalu, memetik hikmah dari sana, guna melangkah ke masa depan dengan hati yakin, dan tidak gugup!

Al Quran itu sendiri, lebih dari 80 % berisi kisah perjuangan orang-orang besar dalam sejarah, di masa lalu. Nabi Muhammad SAW belajar dari kesuksesan dan kegagalan perjuangan orang besar di masa silam yang tidak pernah dijumpainya sama sekali seperti Ibrahim, Yusuf, Musa, Isa, Khidir, Nuh, Adam, Firaun, Qorun, Hammam, dan lainnya.

Meski berjarak jauh ratusan dan ribuan tahun dari pelaku serajarah, Nabi Muhammad Saw. selalu memetik hikmah dan pedoman dari tokoh masa lalu. Dengan cara itulah, Nabi Muhammad tidak kehilangan orientasi dan arah dalam melangkah.

Nabi Muhammad tidak pernah gugup menghadapi masa depan!

Pendeknya, Nabi Muhammad Saw, di dalam berbisnis dengan Allah Saw. (baca:berjuang) sepanjang hidupnya hingga berusia 63 tahun, memiliki kesadaran sejarah yang kuat!

Wallahu a’lam. Allah Maha Tahu.*



Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com