Dapatkan Panduan CD 200 hal, 1 VCD "REVOLUSI RUMAH" tg KIAT DIRIKAN PENERBITAN BUKU DI RUMAH & KIAT MENULIS 24 BUKU DALAM 12 BULAN. Invst.Rp. 999.900. Diskon Rp. 800.000,- jk BAYAR tg. 1 s/d 15. Transfer tgl 16 s/d 31, investasi tetap Rp. 999.900,- Hub. 0813.1043.3010 Garansi :DIPANDU SECARA PRIBADI SAMPAI PUNYA PENERBITAN SENDIRI e mail Yuditobat61@gmail.com hp. 0813.1043.3010 TRANSFER : BANK SYARIAH MANDIRI CAB. CIPUTAT NOREK. 00400.607.30 klik: bukumilyarder.blogspot.com

Selasa, 25 November 2008

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, (Karya ke 13)

SIFAT UTAMA YANG HARUS ANDA MILIKI SEBELUM ANDA MEMULAI BISNIS ADALAH KESABARAN SEPERTI BATU KARANG YANG TETAP KUKUH, MESKI DIGEMPUR OMBAK SEPANJANG ABAD (Karya ke-13)


By Yudi Pramuko,only in Indonesia (Kamis, 20 Nopember 2008)

Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com


GEMA INSANI PRESS, STRATEGI HARGA MURAH ( 3 )

Penerbit Gema Insani Press (GIP), ditertawakan kalangan tertentu, karena pilihan strategi bisnisnya menerbitkan buku-buku Islam terjemahan dari bahasa Arab. Dijual murah, untuk kalangan mahasiswa dan pelajar. Berbeda dengan Mizan yang menyuguhkan puncak-puncak pemikiran Islam, dan bercorak serius, GIP bertahan dengan strategi bisnisnya yang khas. Menjual buku Islam murah. Dicetak tidak tebal. Tanpa catatan kaki (foot-note). Tanpa daftar kepustakaan. Terkesan tidak ilmiah.

GIP memilih, membidik pasar yang berbeda dengan Mizan. Ia, tidak mau bertempur, secara terbuka, dengan pasar Mizan. GIP menciptakan pasar sendiri. Ia membagi pasar menurut caranya sendiri. Jika Mizan membidik kaum terpelajar, elit dan akademisi, maka GIP memfokuskan diri pada pasar khas remaja, atau mahasiswa yang baru mengenal Islam. Dan sedang bergairah mempelajari Islam. GIP tidak menerbitkan buku filsafat Islam, seperti Mizan. GIP menyerang dengan buku-buku ‘ringan’, dan bersemangat. Ia membanjir pasar dengan bacaan gerakan Islam yang frontal, hangat. Dan tidak sedingin pemikiran Islam yang dikeluarkan Mizan. GIP terkesan sengaja ‘menyerang’ ideologi (Syiah) Mizan. Kalangan tertentu mencela buku-buku ‘kacangan’ GIP. Orang tertawa dengan gerakan GIP dengan buku-buku terjemahan dari Timur Tengah, yang murah-murah itu. Orang-orang mengejek. Orang merendahkan. Orang tertawa sinis. Mereka sinis, karena tidak bisa mengikuti langkah cerdik GIP.

GIP tidak mundur. Ia, maju terus, tak menghentikan langkahnya. Meski marjin keuntungannya terbilang tipis, untuk setiap keping buku, GIP bertahan hidup dalam strategi bisnisnya. Strategi harga murah, agar terjangkau kantong pelajar -mahasiswa Islam. GIP punya kesabaran yang panjang. Nafasnya panjang. Kini pada tahun 2000, usia GIP 14 tahun, lebih 500 (lima ratus) judul buku ditelurkan oleh penerbit yang kini membangun kantor sendiri di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Agaknya kini GIP menciptakan strategi baru. Buku-buku tebal, berisi pemikiran politik Islam dan gerakan Islam, mulai dirambah. Ada saja, yang tidak sepakat dengan cara dan pilihan strategi GIP melanjutkan bisnis buku-buku. Biasanya kritik dan cemoohan itu berasal dari orang berjiwa kerdil seperti biji jagung. Dari orang yang wawasannya sempit dan bercita-cita rendah.

GIP melangkah terus dengan keyakinannya sendiri. Gedung megah kini ia miliki. Milik sendiri hasil dari bisnis buku-buku Islamnya. GIP terus melangkah dengan penuh kesabaran. Melangkah ke masa depan yang cerah! Karena, profit, keuntungan dalam bisnis terletak di masa depan. Bukan di masa lalu.

Ingin Kiat Praktis Dirikan Wirausaha Penerbitan Buku di Rumah dan Kiat Menulis Buku dengan Kecepatan Cahaya?
Klik : www.bukumilyarder.blogspot.com
Klik : www.yudipram.blogspot.com




KING GILLETTE, LAKU 144 BUAH



Pernah dengan nama tokoh King Gillette? Ya, silet, pencukur kumis anda!
Namun King Gillette memusnahkan umur yang berharga bertahun-tahun, untuk mengembangkan produk dan perusahaannya. Ia mencari akal, dengan penuh kesabaran, menjual pisau cukur sekali pakai itu, ke seluruh dunia. Perjalanan Gillette sulit, berkelok-berliku, melereng hampir terperosok masuk jurang yang dalam. Ia sukar sekali mencapai tujuan bisnisnya.

Gillette tidak menyerah!

Guna mewujudkan idenya, Gillette menghabiskan waktu bertahun-tahun.

Berhasil!
King Gillette akhirnya memetik hak paten, bagi produk silet, pada tahun 1895. Tapi ia harus menanti selama enam tahun, sampai tahun 1901, untuk mengumpulkan modal sejumlah 5 ribu dolar. Modal itu akan digunakan mendirikan perusahaan Gillette. Berjuanglah mati-matian sang penemu itu, King Gillette, dalam 2 tahun pertama bisnisnya. Ia mulai menjual produknya, pisau cukur. Berapa pisau cukurnya yang laku? Cuma 144 buah! Harga perbuah pun, amat kecil. Jelas, keuntungannya tipis. Gillette tidak mau terlempar dari bisnis yang telah dirintisnya sendiri dengan susah payah. Ia sabar dan bertahan. King Gillette tak menyerah kalah, meski sulit !!!
Dalam kesulitan terletak kemudahan, dan keindahan hidup.
Gillette tetap kukuh bagai berlian. Bersabar. Hatinya tetap membaja. Mencari beraneka jalan yang tidak dipikirkan orang lain. Ia tidak ingin kalah. Ia ingin menang, sukses berbisnis sendiri.
“Ia tetap bersabar, dan terus mencari strategi-strategi baru dalam pemasaran produk barunya itu pada akhirnya ia menemukan strategi yang ampuh.” (Joe Cossman, 1997, hal. 166)
Ya, King Gillette kini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Ia, bagian dari sejarah bisnis Amerika yang termasyhur. Yang dilandasi pada kesabaran yang membaja, dan luar biasa. Siapa manusia di alam semesta ini yang tidak kenal pisau silet?
Kesabaran yang besar dan luar biasa itulah yang menyebabkan mengapa hingga kini pisau cukur silet masih berpengaruh di seluruh penjuru dunia. Hingga detik ini.

Asal anda punya kumis, pisau cukur silet tetap dominan dalam kehidupan anda. Berkat kesabaran penemu, sekaligus pemain bisnisnya: King Gillette!


CHESTER CARLSON, 13 TAHUN MENANTI


Kesabaran itu pula yang menjadi darah daging Chester Carlson, sang penemu mesin foto kopi Xerox. Kisah sukses Carlson, termasyhur di seluruh jagad raya. Ia menemukan mesin foto kopi Xerox tahun 1938. Penemuan Carlson menjadi dasar dibangunnya salah satu perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Setelah menemukan produk baru, mesin foto kopi itu, Carlson memohon pinjaman dana 15 ribu dolar, untuk memulai pengembangan bisnisnya.
Apa yang terjadi?
Pinjaman itu baru cair, dibayarkan, beberapa tahun kemudian. Untunglah, Carlson tetap sabar. Tapi tahun 1947, hak perdagangan mesin foto kopi Xerox dibeli orang lain. Carlson melepasnya, agar bisnisnya kian berkembang. Namun faktanya, ia harus menunggu 13 tahun lagi.... Dengan penuh kesabaran, selama 13 tahun menanti, akhirnya Carlson menerima uang royalti pertamanya. Alangkah sabarnya Chester Carlson dalam memulai bisnisnya.

Carlson, Gillette, Penerbit Mizan, Gema Insani Press, Alva Edison semuanya memiliki kesabaran yang luar biasa, dalam memulai dan mengembangkan bisnisnya. Mereka tidak gampang menyerah, sehingga terlempar dari pertarungan bisnis yang memang keras itu.

Kalau saja bisnis itu mudah tentu semua orang terjun ke gelombang bisnis yang berbahaya itu. Mereka ternyata tidak patah semangat. Sabar, mencari cara dan strategi baru, dan tak mudah mundur, atau lemah hati.

Hasilnya?

Kesuksesan, kepuasan hati yang besar, akhirnya mereka petik. Sukses bisnis mereka akan terus menjadi legenda yang terus hidup. Menjadi buah bibir yang tak habis-habisnya. Berkat sifat sabar yang luar biasa dalam memulai dan mengembangkan bisnis. Sabar dalam bertarung. Das leben ist schwer! Hidup itu sulit, ujar pepatah Jerman. Karena hidup itu sulit, kesabaran dalam mengatasi kesulitan dalam berbisnis, merupakan keharusan etis, psikologis dan historis! Lain tidak!

MENGAPA PERLU MEMBANGUN PENERBITAN SENDIRI?

“Itulah sebabnya mengapa saya tiada jemu-jemunya menganjurkan orang-orang di sekitar saya untuk membersihkan meja dapur mereka, menyulapnya menjadi kantor kecil, dan memulai suatu usaha yang dapat mereka atur sendiri, bukannya terus menerus membiarkan orang lain atau perusahaan yang mengontrol mereka.” (Joe Cossman: 1997, hal. 27)

Pesan dan pelajaran yang dapat ditarik dari Cossman adalah satu saja. Jadilah pengusaha, meski kecil. Segera bikin perusahaan sendiri. Jangan terus-menerus jadi orang gajian.
Dalam sejarah, banyak orang gajian yang merintis jalan baru dengan penuh keberanian. Cossman sendiri bergaji 140 dolar sebulan. Tapi kejadian kecil, yang dialami kawannya, membuat hatinya terbakar. Lalu ia bertekad jadi bos, memiliki perusahaan sendiri. Sudah 18 tahun kawannya menjadi pegawai swasta. Suatu hari Cossman mendengar kawannya dipecat, hanya karena silang pendapat dengan atasannya. Dipecat siang sebelumnya. Joe Cossman terperangah. Kesetiaan seorang karyawan ternyata tidak berharga sama sekali, selama anda menjadi bawahan.
“Wah, untuk apa saya setia kepada perusahaan yang tidak menghargai bawahannya,” ujar Cossman pada dirinya sendiri.
Pengalaman kawannya yang dipecat itu membangunkan Cossman. Kejadian itu membulatkan keputusan:’Aku harus jadi pengusaha’.

Keluarlah ia dari kantornya.
Joe Cossman lalu menjadi burung rajawali. Hinggap dari satu pohon ke pohon lain, dengan bebas merdeka. Mencari makan, mengais rejeki, mengembangkan sayap ide-ide dengan sebebas-bebasnya, tanpa rasa takut dipecat oleh atasan. Joe Cossman menjadi multi jutawan, karena usaha yang dibangunnya sendiri. Gaji 35 dolar seminggu, dari kantor lamanya, telah dicampakkan.

Cossman menciptakan peluang-peluang bisnisnya sendiri. Sebagai pemilik perusahaan yang dirintiskan dari meja di dapurnya, ia merasa puas. Jiwanya bebas. Merdeka. Kini, ia memetik 30.000 dolar, sekali raup. Penghasilan sebesar ini tak terbayangkan waktu jadi orang gajian. Untuk mencapai penghasilan sebesar itu, Cossman harus menghabiskan seribu minggu bekerja. Atau 15 tahun bekerja.

Alangkah malangnya orang-orang yang gajiannya terbatas, padahal hidup demikian luasnya! Penuh kemungkinan berkembang tiada batas!
Untunglah, ia tak lagi jadi orang gajian. Kini, ia mengendalikan kemauannya sendiri. Ia tidak di bawah kendali perusahaan dan orang lain. Berkat mengelola perusahaannya sendiri, ia menghemat banyak waktu. Untuk mendapat 30 ribu dolar, Joe Cossman bekerja keras, tak lebih dari setahun.

Anda bisa jadi jutawan seperti Joe Cossman. Bisa, kalau anda membangun perusahaan penerbitan buku milik sendiri. Setidaknya, anda berkembang ke arah yang anda rancang sendiri. Sesuai selera dan visi hidup anda. Anda akan tidak pernah puas atas pilihan orang lain. Sampai titik ini, orang tidak mampu lagi menentukan masa depan dan gaji anda. Kini, andalah sendiri yang mengarahkan cita-cita dan misi hidup anda.

Hanya dengan perusahaan sendiri, masa depan anda lebih terbuka. Pilihan hidup anda lebih kaya, lebih bervariasi, lebih inspiratif. Lebih menjanjikan kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan dan kedamaian hati. Kenapa? Karena anda menjadi khalifah, menjadi pemimpin. Bukan orang yang dikendalikan orang lain. Atau bekerja di bawah pengaruh atasan anda, yang kerap berbeda cara bepikir, cara memandang persoalannya dengan anda.

Untuk memperkuat pernyataan itu, bandingkanlah penghasilan seorang pengarang dan penerbit.

Jika anda, sebagai pengarang buku, misalnya mendapat 5 juta rupiah, sedangkan penerbit buku anda memetik untung 25 juta rupiah. Mana yang anda pilih?
Tentu anda memilih jadi pengarang buku, sekaligus penerbitan buku anda sendiri. Anda dapat dua-duanya: kebebasan dan uang Rp. 30 juta.
Artinya, mendirikan penerbitan buku jauh lebih menguntungkan, secara ekonomis, dibandingkan jika anda menjadi pengarang yang menjual naskah anda kepada penerbit lain.

Terbitkanlah sendiri, buku anda. Cetak sendiri. Pasarkan sendiri. Kalau diserahkan kepada orang lain, anda rugi besar! Kecuali anda pengarang yang hidup di Barat. Tradisi penerbitan buku di Barat demikian baiknya, sehingga cukup menjadi pengarang, sebuah buku anda diterbitkan, anda bisa makan selama setahun! Bahkan, anda bisa jadi multi jutawan, hanya menjadi pengarang buku saja. Situasi yang menguntungkan pengarang itu, belum terjadi di Indonesia. Mungkin, 50 tahun lagi. Atau dua ratus tahun lagi. Situasinya, industri penerbitan buku membikin gemuk penerbit buku. Sebaliknya, pengarang jadi kere, tetap melarat di tengah pesta pora para penerbit buku Islam kita!
Padahal bukan mudah menyusun buah pikiran, ke dalam paragraf demi paragraf. Otak diperas, dahi berkerut-kerut, duduk ratusan jam mengetik naskah buku. Semua itu membutuhkan ketahanan mental yang besar. Butuh cita-cita yang besar. Perlu napas yang panjang dan tahan lama. Daya tahan seorang pengarang tak dimiliki setiap orang. Itulah sebabnya, pengarang sangat sedikit jumlahnya di dunia ini. Karena, berat dan amat terjal jalan yang harus mereka tempuh. Tapi mereka lakukan juga, untuk menyumbang sesuatu kepada kemanusiaan. Pekerjaan mengarang, sungguh pekerjaan intelektual yang seharusnya dihargai pantas oleh penerbit. Tapi, di Indonesia, penghargaan itu, merosot tajam. Pengarang selalu di pihak yang dikalahkan oleh penerbit. Apa boleh buat!

Bukan jiwa pengarang sejati yang selalu menuntut dan mengemis kepada penerbit. Jiwa pengarang adalah halus. Tidak mau jiwanya dikotori oleh pertempuran dan perebutan soal-soal rupiah. Pengarang sejati bermain di dataran ide dan cita-cita. Tak mau jiwanya meluncur turun karena mengemis-ngemis kepada penerbit. Ada masanya dia menyerah kalah. Bukan dunianya berkelahi dengan penerbit buku-bukunya. Dia harus mengakui dan maklum baru sampai taraf sedemikianlah penghargaan bangsanya kepada kehidupan pengarang yang bercita-cita besar, tapi melarat itu. Cita-cita sucinya tak ingin dikotori oleh tangannya sendiri yang selalu terkulai ke bawah. Tangan dan ilham kepengarangannya tak mau terbakar oleh api dunia yang dinyalakan oleh penerbit bukunya sendiri. Dia maklum!

Dia hanya bisa menangis bahagia ketika bukunya diluncurkan di depan publik. Ketika dicetak dan dibaca orang banyak. Air mata syukur kepada Allah, tak terasa, menetes. Lalu membasahi matanya. Lalu mengalir deras. Ia sesenggukan. Empat ratus undangan memadati aula Perpustakaan Nasional Jakarta, malam itu. Ada beberapa tamu dari negara sahabat, Iran, Irak, Palestina dll. Dia membawa seluruh keluarganya untuk menyaksikan malam yang bersejarah itu. Ibu kandungnya, dia bawa serta, duduk di bangku di depan. Kakak dan adiknya, anak-anaknya dan isterinya, sengaja dia ajak, untuk menyaksikan peluncuran bukunya. Buku karangannya, sangat khas, ditulisnya siang malam selama 3 bulan, sejak September hingga Desember 1999. Kemudian diberinya judul Yusril Ihza Mahendra, Sang Bintang Cemerlang. Disambung judul kecil di bawahnya ‘Perjuangan Menegakkan Sistem dan Ahlak Berpolitik’. Nama, Yudi Pramuko, tertera jelas di kanan atas. Ya, ia menulis kisah hidup dan pemikiran Yusril, yang saat itu baru saja menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI. Ia sekaligus Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang. Yusril, bintangnya sedang menanjak. Terilhami oleh istilah ‘The Rising Star’, ia kemudian menjulukinya ‘Sang Bintang Cemerlang’ karena pemikirannya memang ditunggu banyak orang, di tengah hiruk pikuknya kegalauan sosial akibat perubahan sistem yang mendasar di negaranya.

Musik digelar. Makan malam disantap. Bukan main gembiranya pengunjung, sebanyak itu, beroleh makan malam gratis. Jarang sekali di Indonesia, peluncuran buku, didahului makan malam. Tidak sedikit kawannya yang mengucapkan selamat. Umumnya mereka heran, dirinya bisa menulis Yusril setebal 200 halaman, dan dirayakan dengan acara seperti itu. Atau, mungkin tak menyangka yang menulis Yusril cuma pengarang seperti dirinya, yang penampilannya sederhana.

Tapi, sebenarnya tak banyak yang tahu, dia menangis di tengah pesta. Sebagai pengarang hatinya menjerit. Sebelum buku dicetak, sudah terbayang di pelupuk matanya, jumlah uang yang bakal masuk sakunya. Tak sebanding dengan kemewahan yang digelar di malam April 2000 itu. Sekian belas juta dihambur-hamburkan hanya untuk menyenangkan segelintir orang. Tapi sekaligus menghina martabat seorang pengarang buku. Begitu banyak orang yang hendak tampil. Dan melupakan seorang pengarang buku.

Mereka seakan lupa, pengarang buku, bernama Yudi Pramuko, adalah manusia biasa. Martabatnya sebagai pengarang layak dihargai pantas oleh penerbit manapun! Tak boleh terjadi dirinya dieksploitasi, dihisap tenaga dan pikirannya untuk kepentingan lingkar elit yang terbatas.

Dia tidak ingin membiarkan dirinya dihempaskan harga diri sebagai pengarang, hanya untuk memuaskan pihak-pihak tertentu. Tak ingin lagi orang lain menghempaskan dirinya, sebagai pengarang, seperti sebingkai kaca dihempaskan ke batu. Pecah berkeping-keping.

Tapi, sudahlah. Laisa fil imkaani mimma kaana.Tidak ada yang lebih baik dari apa yang telah terjadi, seperti ucapan filsuf besar Islam, Al Ghazali. (1058-1111).

Pengalaman pahit peluncuran bukunya, di Perpustakaan Nasional, itu sungguh berharga. Sejak itulah ia ingin melakukan sesuatu yang lebih bermartabat.

Dirikan saja penerbitan Islam sendiri.
Beres!

Begitu tekadnya, dalam hati. Dan sejak saat itu ia ingin cepat-cepat melupakan peristiwa malam itu. Dan ia tidak ingin menciptakan musuh-musuh baru. Ia ingin segera menamatkan pengalaman yang bernilai dalam hidupnya itu dengan cara membangun penerbitan buku sendiri. Ia ingin mencetak buku-buku karangannya sendiri.

Sebuah langkah yang jarang ditempuh oleh pengarang Indonesia. Namun, telah keras hatinya, ia bercita-cita besar, ingin memulai tradisi baru: Pengarang buku sebaiknya memiliki penerbitan sendiri, agar harga dirinya, muru’ahnya, terjaga dan terpelihara! Blessing in disguise!
Senantiasa ada hikmah di balik luka hati. Dan, Allah senantiasa menganugerahkan yang terbaik untuk setiap hati. Hanya manusia jahil yang senantiasa tak punya hati.

BISMILLAH, MELANGKAH
Dibantu oleh dua orang teman, untuk pemasaran, di akhir tahun 2000 jadilah sebuah penerbitan sendiri. Total, hanya dikerjakan oleh tiga orang, termasuk saya seorang pengarang buku. Jadi, ada benarnya pendapat, bahwa untuk mendirikan penerbitan buku tidak sekompleks mendirikan sebuah restoran.

Modalnya, hanyalah kemauan baja. Lalu melangkah dengan bismillah! Faidza ‘azamta fa tawakkal ‘alallah. Jika kemauanmu sudah bulat, sudah sekeras intan maka bertawakallah kepada Allah. Karena, seluruh urusan masa depan, termasuk masa depan penerbitan bisnis buku, semata-mata di dalam genggaman kekuasaan Allah. Anda, dan saya hanya berusaha dengan secermat dan sebaik mungkin. Soal hasil, soal ketentuan Ilahi. Soal kita, adalah soal kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh. Lain, tidak!

Namun, yang mau saya tegaskan, mendirikan penerbitan buku bisa langsung jalan dengan tiga orang saja. Seorang pun bisa jalan! Tanpa punya PT. Tanpa punya akte notaris yayasan. Tanpa punya mesin cetak. Tanpa punya mobil sendiri. Tanpa telpon di rumah.

Alhasil, membuat naskah buku sendiri, mencetaknya sendiri lalu memasarkannya sendiri sungguh memuaskan hati. Lebih membahagiakan jiwa. Lebih menantang intuisi bisnis. Lebih mengembangkan diri sendiri. Lebih menjanjikan masa depan bisnis yang cerah. Lebih membuat jiwa merdeka. Dibandingkan dengan menyerahkan naskah buku ke orang lain, lalu dicetak oleh orang dan penerbit lain.
Percayalah. Trust me!


Cara Mendirikan Penerbit Buku


“Mendirikan penerbit di Indonesia tidak sesulit membangun kantor pos atau membuka restoran. Anda tidak harus segera punya seratus armada kurir atau seratus koki. Dalam banyak contoh di luar negeri, penerbit hanya terdiri atas dua atau tiga orang. Asal ada yang mengerti redaksi, ada yang paham pemasarannya, langsung bisa jalan.” (Eka Budianta, ‘Menggebrak Dunia Mengarang’, cet. ke 2, Jakarta:Puspaswara, 1994, h. 66)
Sayang sekali, Eka Budianta tidak bicara lebih detil cara membangun penerbit buku. Padahal, ini penting. Seorang pengarang, jika ingin bercita-cita tinggi, dan punya banyak uang dan kebebasan, harus punya penerbit buku sendiri. Di Indonesia, pengarang cenderung ‘dikalahkan’ oleh penerbit. Akibatnya, pengarang selalu ‘rugi’. Ia tidak bisa sejahtera, secara finansial.Tidak merdeka secara psikologis. Kecuali kalau tujuannya adalah non-material-ekonomis. Cuma penerbit bukulah yang kaya raya, dan dapat nama.

Pengarang buku?

Terimalah nasibmu yang abadi: Gigit jari!

Di Barat, berbeda.
Di negara maju, pengarang sungguh dihormati. Jadi jutawan. Jadi milyader. Jutaan keping bukunya dicetak. Di sini, penerbit bicara tiga atau sepuluh ribu buku, untuk cetakan pertama. Ini, masih bernilai, karena ia sudah berbuat sesuatu bagi negerinya
Soalnya, kemana buku yang dicetak harus dipasarkan dengan sungguh-sungguh? Tentu, ke toko buku. Kalau tidak disalurkan, didistribusikan, ribuan buku itu menumpuk di rumah. Kalau begitu, peluang untuk jadi uang, kian kecil. Orang tak tahu ada barang berguna. Karena, tidak ditawarkan.

Jadi, soal berikutnya setelah keluar dari penerbitan adalah memasarkan buku. Di sini, anda harus berjuang.

Banyak orang lupa bahwa pemasaran adalah jantung sebuah bisnis. Termasuk bisnis buku. Dalam jual beli, atau bisnis dalam arti luas, terdapat sembilan pintu rejeki dari sepuluh pintu rejeki. Ini, menurut hadis Rasulullah. Dengan kata lain, hadis itu menyiratkan, bahwa 90 persen uang berputar dalam perdangangan. Maka, sebagai pengarang, kuasailah 90 % uang itu. Jangan diserahkan ke penerbit lain. Andalah yang menguasai penjualan buku-buku anda sendiri.

Dan inti dari perdagangan adalah marketing. Dengan proses marketing dapat diciptakan penjualan (selling) yang menghasikan uang. Dengan menerjuni marketing anda menguasai seluk beluk lari dan datangnya uang. Belajarlah dunia baru: marketing. Dengan merambah jalan, anda sebagai sebagai pengarang, dapat lebih berbahagia dan sejahtera.

Selamat berjuang.
Mengarang itu berjuang!

Dan pengarang harus kembali berjuang, jika mereka ingin kaya dan terhormat: Memasarkan buku-buku!*

Tidak ada komentar: